Analisis Kritis Pembagian Wilayah Nambung: Solusi atau Kontroversi?

Penulis: Abdul Majid, Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat dan Pelaku Penggiat Pariwisata NTB

SEBAR.CO.ID – Pembagian wilayah Nambung antara Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) dan Kabupaten Lombok Barat (Lobar) kembali mencuat sebagai isu strategis yang melibatkan aspek administratif, sosial, ekonomi, hingga politik. Keputusan ini mengundang pertanyaan kritis: apakah langkah bagi rata ini merupakan solusi terbaik atau justru berpotensi menimbulkan konflik yang lebih kompleks di masa depan? Tulisan ini akan mengkaji secara mendalam latar belakang, dampak, dan kemungkinan solusi dari pembagian wilayah ini.

Sejarah dan Dasar Hukum

Sengketa batas wilayah antara Loteng dan Lobar sudah berlangsung lama. Berdasarkan Permendagri Nomor 93 Tahun 2017, Dusun Nambung ditetapkan sebagai bagian dari Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Namun, sebelumnya, wilayah ini dianggap sebagai bagian dari Desa Montong Ajan, Kecamatan Praya Barat Daya, Kabupaten Lombok Tengah.

Pemkab Loteng tidak sepenuhnya menerima keputusan ini, mengingat Nambung memiliki potensi ekonomi besar di sektor pariwisata. Akibatnya, muncul tuntutan dari berbagai pihak agar dilakukan revisi atau solusi alternatif, salah satunya dengan membagi wilayah ini secara merata antara kedua kabupaten.

Sebagai salah satu pelaku yang memviralkan keindahan Pantai Nambung dengan fenomena air terjun asinnya pada tahun 2014, Saya telah ikut berkontribusi signifikan dalam meningkatkan popularitas destinasi wisata ini. Fenomena air terjun asin di Pantai Nambung menjadi daya tarik utama bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

Aspek Sosial dan Identitas Masyarakat

Salah satu aspek krusial dalam sengketa ini adalah identitas dan keterikatan sosial masyarakat Nambung. Selama bertahun-tahun, penduduk di wilayah ini memiliki relasi erat dengan kedua kabupaten. Beberapa warga mengakses layanan publik di Loteng, sementara yang lain lebih terhubung dengan Lobar. Jika pembagian dilakukan tanpa memperhatikan keterikatan sosial, maka akan ada risiko disintegrasi sosial, kebingungan dalam administrasi kependudukan, hingga ketidakpuasan warga.

Selain itu, perbedaan dalam kebijakan pembangunan antara dua kabupaten bisa menciptakan kesenjangan pelayanan. Misalnya, bagaimana pengelolaan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan akan dibagi? Apakah kebijakan tiap daerah akan sejalan atau justru tumpang tindih?

Aspek Ekonomi dan Potensi Pariwisata

Pantai Nambung dikenal sebagai salah satu destinasi wisata potensial di Lombok dengan fenomena unik “Air Terjun Laut”. Hal ini menjadikannya aset strategis dalam pengembangan pariwisata NTB.

Pembagian wilayah bisa menimbulkan tantangan koordinasi dalam pengelolaan pariwisata. Apakah kedua daerah memiliki visi yang sama dalam mengembangkan Nambung? Bagaimana pembagian pajak dan retribusi wisata? Jika tidak ada sinkronisasi, bisa terjadi perebutan investasi dan kebijakan yang saling melemahkan.

Selain itu, pembagian wilayah juga akan berdampak pada alokasi anggaran pembangunan. Jika koordinasi lemah, bisa muncul ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan, akses listrik, dan air bersih, yang dapat merugikan sektor pariwisata dan ekonomi lokal.

Aspek Politik dan Kepentingan Daerah

Keputusan pembagian wilayah ini tentu tidak lepas dari kepentingan politik dan administrasi pemerintahan daerah. Loteng dan Lobar memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas pendapatan daerah serta mempertahankan pengaruh politik di wilayah strategis.

Apakah pembagian ini dilakukan murni untuk kepentingan masyarakat ataukah ada tarikan politik dan kepentingan kelompok tertentu? Jika pembagian ini lebih bernuansa politis daripada administratif, maka kebijakan ini bisa menjadi preseden buruk bagi penyelesaian sengketa batas wilayah lainnya di NTB.

Aspek Hukum dan Administrasi Pemerintahan

Dari perspektif hukum, perubahan batas wilayah bukanlah hal yang sederhana. Ada mekanisme yang harus ditempuh sesuai regulasi yang berlaku, seperti revisi Permendagri atau penerbitan Peraturan Pemerintah baru. Jika tidak dikelola dengan baik, pembagian wilayah bisa menimbulkan konflik hukum yang panjang, baik di tingkat daerah maupun pusat.

Administrasi pemerintahan juga akan menghadapi tantangan baru. Misalnya, bagaimana pengelolaan data kependudukan, alokasi anggaran desa, dan batas yurisdiksi aparat keamanan? Jika tidak ada kejelasan, bisa terjadi tumpang tindih kewenangan yang merugikan warga setempat.

Solusi dan Rekomendasi

Daripada membagi wilayah tanpa kajian yang matang, beberapa solusi alternatif dapat dipertimbangkan:

1. Peningkatan Kerjasama Antar Daerah

Daripada membagi wilayah, Loteng dan Lobar bisa membentuk kerja sama lintas kabupaten dalam pengelolaan Nambung. Ini bisa berbentuk perjanjian kerja sama pariwisata, pengelolaan pajak bersama, hingga sinergi pembangunan infrastruktur.

2. Referendum Masyarakat

Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan melalui mekanisme referendum atau musyawarah terbuka bisa menjadi solusi demokratis untuk menentukan nasib Nambung.

3. Revisi Kebijakan dengan Kajian Mendalam

Jika pembagian wilayah tetap dianggap solusi terbaik, maka harus ada kajian komprehensif dari aspek hukum, sosial, ekonomi, dan administratif agar tidak menciptakan masalah baru.

4. Peran Pemerintah Provinsi dan Pusat

Pemerintah Provinsi NTB dan Kementerian Dalam Negeri harus turun tangan dalam memastikan keputusan yang diambil bersifat adil dan tidak menimbulkan ketimpangan.

Pembagian wilayah Nambung antara Lombok Tengah dan Lombok Barat bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga menyangkut aspek sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Jika tidak direncanakan dengan baik, kebijakan ini berisiko menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan pengelolaan sumber daya daerah. Oleh karena itu, sebelum keputusan final diambil, harus ada kajian mendalam dan solusi yang lebih inklusif, agar kepentingan masyarakat tetap menjadi prioritas utama.

Membangun Lombok yang lebih harmonis memerlukan pendekatan yang tidak hanya berbasis kebijakan, tetapi juga partisipasi masyarakat dan koordinasi lintas sektor yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *