Desa Wisata: Laboratorium Masa Depan Pariwisata Indonesia

Oleh: Abdul Majid 

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat

Di tengah kian menguatnya tren wisata berbasis pengalaman, desa wisata tampil sebagai narasi tandingan atas pariwisata massal yang serba instan dan konsumtif. Ia menjadi ruang baru yang menyatukan antara pesona alam, kebudayaan, dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Bukan semata menjual panorama, desa wisata menawarkan makna—melibatkan wisatawan dalam denyut otentik kehidupan lokal.

Kecenderungan wisatawan masa kini yang lebih menyukai pengalaman personal, edukatif, dan berkelanjutan menjadi alasan mengapa desa wisata kian relevan. Di sinilah wisata tidak hanya menjadi aktivitas rekreatif, tetapi juga wahana pembelajaran lintas budaya dan pemantik kesadaran ekologis. Sebuah transformasi dari pariwisata berbasis objek menuju pariwisata berbasis subjek dan nilai.

Namun, pembangunan desa wisata tidak cukup hanya dengan semangat dan potensi alam. Ia butuh perencanaan matang, penguatan kelembagaan, dan kerangka hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah menggariskan pentingnya pelibatan masyarakat dan prinsip berkelanjutan sebagai fondasi utama pembangunan pariwisata. Sementara itu, Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 14 Tahun 2021 tentang Desa Wisata memberikan kerangka kerja administratif dan teknis yang memadai, termasuk klasifikasi desa wisata dan pedoman pengembangannya.

Di tingkat daerah, beberapa regulasi seperti Peraturan Daerah Kabupaten tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata, Kewenangan Desa, hingga Kerja Sama Antar Desa, memperkuat posisi desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan potensi wisata. Aturan-aturan ini tidak hanya mengakui, tetapi juga mendorong peran desa dalam menentukan arah kebijakan dan strategi pengembangan wilayahnya secara mandiri dan berkelanjutan.

Meski regulasi telah tersedia, tantangan terbesar terletak pada bagaimana mewujudkan kolaborasi lintas sektor yang efektif. Pemerintah daerah sebagai simpul koordinasi memiliki peran sentral untuk menyinergikan program pembangunan pariwisata dengan dinamika desa. Namun lebih dari itu, dibutuhkan semangat kolaboraksi—yaitu kolaborasi yang aktif dan partisipatif, bukan sekadar koordinasi prosedural. Ini menuntut komunikasi yang intensif, kepercayaan antar institusi, serta keberanian untuk bereksperimen di luar pola lama pembangunan pariwisata.

Pengembangan desa wisata sejatinya bukanlah soal membangun obyek semata, tetapi lebih kepada membangun kesadaran kolektif. Kesiapan masyarakat, kapasitas kelembagaan, integrasi budaya dalam ekonomi, serta keterbukaan terhadap perubahan menjadi elemen-elemen penting yang perlu dirawat terus-menerus. Infrastruktur fisik harus sejalan dengan infrastruktur sosial. Sumber daya alam harus dijaga dengan kesadaran spiritual. Dan digitalisasi harus dikawal dengan literasi.

Ketika semua itu berjalan beriringan, desa tidak hanya menjadi pelengkap dalam peta pariwisata nasional, tetapi juga pusat inovasi. Sebuah laboratorium sosial di mana budaya, lingkungan, dan ekonomi berjalan dalam harmoni. Sebuah ruang yang tak hanya mendatangkan wisatawan, tetapi juga memperkuat jati diri warga desa itu sendiri.

Pada akhirnya, desa wisata bukanlah titik akhir. Ia adalah proses panjang, jalan berliku yang menuntut kesabaran, konsistensi, dan visi bersama. Maka, mendukungnya bukanlah proyek satu kali, melainkan komitmen jangka panjang untuk menata arah pariwisata Indonesia yang lebih adil, berkelanjutan, dan membumi.

Tulisan ini merupakan refleksi atas dinamika kebijakan, arah pembangunan pariwisata nasional, dan kebutuhan untuk memperkuat posisi desa dalam lanskap ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *