Oleh: Abdul Majid Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat
Di balik riang gembira irama tabuhan kecimol yang kini menjamur di jalanan dan hajatan-hajatan di Lombok, terselip kegelisahan mendalam. Musik tradisi yang seharusnya menjadi ekspresi kebudayaan justru mulai tergerus oleh praktik-praktik yang jauh dari nilai-nilai luhur adat Sasak. Tarian erotis yang kerap mengiringi irama kecimol telah mengundang kritik tajam dari tokoh adat, tokoh agama, pemerintah, hingga masyarakat awam. Dalam situasi seperti ini, kita tak bisa hanya menjadi penonton.
Kecimol: Seni yang Dimutilasi oleh Oknum
Awalnya, kecimol dikenal sebagai bentuk kreasi lokal yang berakar dari pertunjukan tradisional, berfungsi sebagai hiburan dalam perayaan seperti pernikahan dan khitanan. Namun kini, banyak penampilan kecimol yang justru menyimpang dari nilai seni itu sendiri. Joget-joget vulgar di tengah jalan, goyangan yang merangsang, bahkan eksploitasi perempuan muda menjadi tontonan yang tidak lagi mendidik, melainkan mendekonstruksi moral sosial.
Majelis Adat Sasak telah memperingatkan bahwa ini adalah bentuk dekadensi budaya. Mereka menilai, yang dipertontonkan bukanlah seni, tetapi pornoaksi. Keresahan ini tidak datang dari fanatisme nilai tradisional, melainkan dari rasa tanggung jawab menjaga marwah budaya lokal agar tidak dijadikan alat sensasi murahan.
Kesenian atau Komodifikasi Nafsu?
Di era digital, semua mudah viral. Sayangnya, bukan kualitas musik atau tari yang jadi sorotan, melainkan aksi sensual yang memancing klik dan komentar. Konten ini lalu dikonsumsi oleh generasi muda yang belum siap menyaring nilai. Jika kita diam, maka kita sedang menyuburkan tanah bagi tumbuhnya degradasi moral secara kolektif.
Lebih dari itu, para penari yang kerap tampil dalam joget-joget ini sering tidak mendapatkan perlindungan sosial, bahkan dieksploitasi. Mereka masuk ke industri hiburan jalanan tanpa ada aturan, kontrak kerja, atau perlindungan hukum yang layak.
Lombok Barat dan PR yang Mendesak
Lombok Tengah, sebagai kabupaten tetangga, telah lebih dahulu merespon dengan menggagas Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Kesenian. Bahkan muncul desakan dari Forum Kadus, Majelis Adat, hingga Asosiasi Kecimol sendiri untuk menertibkan pertunjukan yang mengandung unsur erotis.
Lalu, bagaimana dengan Lombok Barat?
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Lombok Barat mengambil langkah nyata dan strategis. Setidaknya, terdapat lima rekomendasi kebijakan yang perlu segera dirumuskan:
1. Pemetaan dan Klasifikasi Seni Tradisi
Pemerintah perlu melakukan pemetaan jenis-jenis kesenian lokal, termasuk kecimol, untuk membedakan antara yang bersifat edukatif, ekspresif, dan yang telah melenceng dari pakem kebudayaan.
2. Peraturan Bupati (Perbup) tentang Tata Kelola Kecimol
Sebelum terbentuknya Perda, Perbup dapat menjadi jembatan awal. Isinya mencakup standar etika pertunjukan, larangan joget erotis, dan kewajiban izin acara dengan pengawasan dari desa/kelurahan.
3. Revitalisasi Fungsi Majelis Adat
Majelis Adat Sasak di Lombok Barat perlu difungsikan sebagai bagian dari mekanisme kontrol sosial yang aktif memberi masukan terhadap kesenian publik yang menyimpang.
4. Pemberdayaan dan Pelatihan Seniman Lokal
Para pelaku seni perlu diberikan ruang dan pelatihan, tidak hanya untuk meningkatkan keterampilan, tetapi juga untuk memahami nilai-nilai kebudayaan dan batas etika publik.
5. Penegakan Hukum dan Perlindungan Sosial
Satpol PP dan instansi hukum lain perlu dilibatkan untuk menindak pertunjukan yang jelas-jelas menampilkan pornoaksi. Di sisi lain, para penari harus mendapatkan perlindungan sosial dan edukasi alternatif.
Menjaga Warisan, Mencegah Kehancuran
Kita tidak anti hiburan. Kita tidak memusuhi seni. Tetapi seni yang tidak memiliki jiwa budaya hanya akan menjadi instrumen pasar yang memperdagangkan tubuh dan rasa malu. Lombok Barat memiliki warisan budaya yang besar: dari gendang beleq, tari gandrung, hingga ritus-ritus adat yang sarat makna. Jangan sampai warisan itu dikubur oleh sorak sorai palsu di pinggir jalan yang menampilkan tarian tanpa arah.
Mari kita duduk bersama. Eksekutif, legislatif, tokoh adat, budayawan, dan masyarakat sipil—semua perlu ambil peran. Agar kecimol bisa kita rawat, bukan dimatikan, tapi juga tidak menjadi biang kerusakan moral generasi kita.