Jaga Harmoni Sosial: Mencegah Konflik Pariwisata di Lombok Barat

Oleh: Abdul Majid 

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat dan Pembina Komunitas Ayo Explore Indonesia

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terus memperlihatkan geliat pariwisatanya di tingkat nasional maupun internasional. Potensi wisata alam, budaya, dan minat khusus yang dimiliki NTB menjadi magnet yang kuat bagi wisatawan. Namun, di tengah tumbuhnya sektor ini, sejumlah dinamika sosial yang berujung pada konflik masyarakat mulai terjadi di beberapa destinasi.

Kita menyaksikan bagaimana konflik di kawasan Senaru dan Sembalun muncul akibat distribusi manfaat yang dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat lokal. Di destinasi lain seperti Air Terjun Benang Kelambu dan kawasan Ekas-Awang, ketegangan muncul karena kurangnya komunikasi dan sinergi antara masyarakat dengan pengelola wisata. Persoalan ini, jika tidak segera ditangani, bisa menjadi benang kusut yang menghambat pertumbuhan sektor pariwisata secara keseluruhan.

Situasi tersebut tentu menjadi bahan refleksi penting, terutama bagi Kabupaten Lombok Barat yang memiliki sejumlah destinasi wisata strategis hingga Desa-desa Wisata berbasis budaya dan alam. Kita tidak boleh lengah. Justru dalam situasi pembangunan yang terus berkembang seperti sekarang, perlu langkah-langkah antisipatif agar konflik serupa tidak muncul di daerah kita.

Salah satu pendekatan yang perlu diperkuat adalah membangun kolaborasi yang sehat antara masyarakat lokal, pelaku wisata, dan pemerintah. Jangan sampai masyarakat merasa menjadi penonton di tengah hingar-bingar pembangunan destinasi wisata. Mereka harus menjadi bagian dari sistem, bahkan menjadi pelaku utamanya. Jika masyarakat lokal tidak dilibatkan secara adil, maka potensi konflik akan selalu terbuka.

Forum-forum komunikasi di tingkat desa wisata sangat penting untuk diperkuat. Forum ini bisa menjadi ruang dialog, tukar informasi, dan tempat menyelesaikan perbedaan kepentingan secara damai. Begitu pula soal transparansi—baik dalam hal rekrutmen tenaga kerja, pengelolaan hasil usaha, maupun tanggung jawab sosial dari para pengelola wisata—semuanya harus dibuka secara jujur dan setara.

Kita juga harus mendorong pelatihan dan penguatan kapasitas masyarakat lokal agar mereka bisa berperan aktif dalam industri pariwisata. Mulai dari pramuwisata, pengelola homestay, produk UMKM lokal, hingga pemasaran digital. Jangan sampai destinasi yang dibangun dengan biaya besar justru tidak memberi manfaat nyata bagi warga sekitar.

Lombok Barat memiliki modal sosial yang kuat, termasuk budaya gotong royong dan kearifan lokal yang menjunjung keseimbangan dengan alam. Nilai-nilai ini harus menjadi bagian dari cara kita mengelola wisata—tidak hanya mengejar angka kunjungan, tetapi juga memastikan bahwa harmoni sosial tetap terjaga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *