Komunikasi Empati Kala Pilkada

Abdul Gafur Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram
0
195

 

Indonesia sebagai negara demokrasi telah melaksanakan perhelatan politik dengan beralaskan Undang-undang Nomor 6 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 untuk memilih 9 Gubernur, 224 Bupati dan 37 Wali Kota.

 

Presiden telah menetapkan Bencana Nasional NonAlam untuk Pandemi COVID-19 ini, namun tidak mengurungkan hajatan demokrasi yang sudah dicanangkan jauh hari sebelum pandemi. Keseriusan Pemerintah dalam merayakan pesta demokrasi di era pandemi dibuktikan dengan bertambahnya anggaran yang digelontorkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan alokasi dana untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) naik Rp5,23 triliun dari Rp15,23 triliun menjadi Rp20,46 triliun. Kenaikan terjadi karena pemerintah harus menyiapkan protokol kesehatan selama pilkada berlangsung (CNN, 22-09-2020).

 

Satu di antara 270 daerah tersebut adalah Kabupaten Lombok Utara. 16 Desember 2020, KPU Lombok Utara telah menetapkan hasil perolehan suara pilkada yakni, Pasangan JODA AKBAR memperoleh 83.659 (56,13%) dan Pasangan SIAP memperoleh suara 65.378 (43,87%) dengan Pengguna Hak Pilih 151.994 (88,20%) dari 172.326 jumlah DPT.

 

Tentu, selama masa kampanye hingga penetapan hasil pengungutan suara, para calon berserta relawannya telah maksimal berjuang baik secara materi maupun nonmateri. Pun juga telah dipertontonkan ke publik strategi komunikasi politik untuk meraup suara terbanyak.

 

Menarik kiranya membahas sisi pesan komunikasi. Pesan komunikasi itu terkait dengan empati, sebut saja empati komunikasi. Sudahkah Kedua Cabup dan Cawabup Lombok Utara mengaplikasikan komunikasi empati?

 

Teori empati dikembangkan oleh Berlo (1960) dan Daniel Larner (1978). Teori tersebut dinamakan influence theory of empathy (teori penurunan dari penempatan diri ke dalam diri orang lain). Artinya, komunikasi mengendalikan, bagaimana kalau ia berada pada posisi komunikator. Apabila teori ini digunakan dalam kegiatan politis maka disebut komunikasi politik yang manusiawi, karena aplikasinya dilakukan secara dialogis. (Anwar Arifin, 2003)

 

Ada banyak definisi empati. Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses itu proses dimana seorang punya kemampuan untuk memahami atau memahami – dengan cara seolah-olah mengalami sendiri – perasaan, pikiran atau sikap orang. Dengan kata lain, kemampuan seseorang untuk merasakan sesuatu yang dirasakan orang lain. (Nurudin, 2020)

 

Dengan demikian, jika ia empati itu dilekatkan pada komunikasi maka bisa dikatakan kemampan seorang komunikator untuk “menjadi” orang lain. Komunitator berusaha melibatkan dirinya pada apa yang terjadi pada orang lain. Ia berusaha menyelami perasaan, pikiran, dan perilaku yang melakukan perbuatan orang lain tersebut.

 

Dalam pandangan Islam, Komunikasi empati teruari pada hadits Nabi SAW. berikut

“Dari Abi Musa r.a. dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan.” (HR. Bukhari)

 

Hadits di atas, secara tidak langsung mengajarkan kepada kita untuk bisa  merasakan apa yang dirasakan orang mukmin yang lain. Apabila ia sakit, kita pun merasa sakit. Apabila ia gembira, kita pun merasa gembira.

 

Dalam konteks pilkada Lombok Utara, publik dapat menyaksikan wacana-wacana yang tidak asing didengar oleh warga Gumi Tioq Tata Tunaq seperti: Pak Johan terlalu tua untuk menjadi Bupati, Pak Najmul lupa terhadap janji, Pak Dani bukan orang Lombok Utara asli, Pak Suardi kurang mampu dalam komunikasi dan ungkapan sejenisnya yang dapat disaksikan oleh ribuan pengguna sosial media di beranda facebook. Hingga pilkada usai pun ekspresi komunikasi verbal yang saling menjatuhkan berseliweran di jagat Maya.

 

Tentu tidak mudah untuk mewujudkan komunikasi empati kala pilkada, bahkan untuk menyeragamkan pesan empati komunikator sangat sukar terealisasi. Dalam hal ini pasangan calon beserta relawannya perlu terus mempertanyakan apakah informasi yang disampaikan bermanfaat untuk orang lain? Apakah pesan yang disampaikan dapat dibuktikan dengan data yang akurat? Bagaimana jika saya pada posisi orang yang dibicarakan? Karena pada sisi tertentu ada pertanyaan yang mudah diucapkan tetapi sulit diwujudkan. Sebab ada kalanya seorang komunikator berlindung dibalik ungkapan manis bahwa ia sudah berempati pada orang lain meskipun tindakannya sangat menyakitkan.

 

Inilah pentingnya komunikasi empati dipupuk, dibangun didiseminasikan oleh pasangan calon beserta relawannya. Tiadanya kepekaan dalam komunikasi hanya akan membuka peluang luka yang semakin kronis. Pola komunikasi yang tidak empati ibarat “menggarami luka lama”.

Pemerintah Lombok Utara sedang dalam sorotan karena tahun 2021 menjadi periode pemerintahan ketiga juga telah dilanda bencana alam (gempa bumi) dan sedang diterpa bencana nonalam (covid19) yang menguras tenaga berfikir dan anggaran yang melangit. Maka, retorika elit politik yang saling menjatuhkan hanya akan memunculkan pergesekan dan mewariskan paradigma yang tidak baik. Di sinilah pentingnya komunikasi empati itu dibangun dan diterapkan.

Leave a reply