Oleh: Abdul Majid
Anggota DPRD Lombok Barat
Pada 14 Mei 2025, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 di Hotel Aruna Senggigi. Forum ini bukan sekadar seremoni birokratis, tetapi menjadi tonggak penting dalam menentukan arah kebijakan pembangunan daerah lima tahun ke depan.
Namun, di balik gelaran yang megah dan retorika optimistis, ada banyak hal yang perlu ditelaah secara kritis. Terutama ketika data resmi menyebut angka kemiskinan Lombok Barat yang cukup tinggi di rata-rata provinsi NTB
1. Visi Besar vs Realita Sosial
RPJMD mestinya menjadi cetak biru pembangunan daerah yang berpijak pada realitas, bukan sekadar ambisi politik. Angka kemiskinan yang tinggi menunjukkan bahwa capaian RPJMD sebelumnya belum cukup menyentuh lapisan masyarakat bawah. Pertanyaan mendasar: apakah RPJMD baru ini akan menyasar akar masalah atau kembali menumpuk program bersifat seremonial?
2. Pendekatan Top-Down yang Masih Dominan
Meski bernama “musyawarah perencanaan”, proses Musrenbang masih lebih didominasi pendekatan top-down dari elit birokrasi. Keterlibatan masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan kelompok rentan sering kali sekadar formalitas. Hal ini menjadi paradoks ketika isu-isu lokal – seperti kemiskinan struktural, ketimpangan layanan dasar, dan pengangguran – justru membutuhkan pendekatan partisipatif dan kontekstual.
3. Efektivitas Program Pengentasan Kemiskinan
Kepala Bappeda NTB, H. Iswandi, secara gamblang mengakui bahwa banyak program penanggulangan kemiskinan tidak tepat sasaran. Ini menunjukkan kegagalan dalam perencanaan berbasis data dan monitoring evaluasi yang kuat. RPJMD ke depan harus dirancang dengan sistem pendataan yang akurat, evaluasi berbasis dampak, dan keterlibatan stakeholder lintas sektor.
4. Tantangan dan Peluang Wilayah Strategis
Lombok Barat memiliki posisi strategis: dekat dengan KEK Mandalika, menjadi jalur wisata internasional, dan berbatasan dengan sentra ekonomi NTB lainnya. Namun, potensi ini belum optimal karena keterbatasan infrastruktur, birokrasi lamban, dan investasi yang belum merata. RPJMD harus mampu menjawab tantangan ini dengan memperkuat konektivitas wilayah, reformasi regulasi, dan kolaborasi lintas sektor.
5. Harapan untuk RPJMD yang Progresif dan Humanis
RPJMD 2025–2029 harus berpijak pada tiga prinsip utama:
Progresif: Mendorong transformasi ekonomi lokal, inovasi pelayanan publik, dan digitalisasi sistem birokrasi.
Inklusif: Memastikan semua warga, termasuk perempuan, disabilitas, dan kelompok miskin terlibat dalam proses dan mendapat manfaat pembangunan.
Berbasis Bukti: Setiap program wajib berdasarkan data riil, kebutuhan lokal, dan dapat diukur dampaknya.
Penutup:
Musrenbang RPJMD bukan sekadar agenda tahunan, melainkan pintu menuju masa depan Lombok Barat yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Para pengambil kebijakan harus menjadikan forum ini bukan hanya ruang mendengar, tapi ruang merespons, merancang, dan menjawab realitas.
Sebagai wakil rakyat, saya berharap bahwa RPJMD kali ini bukan hanya daftar program, tetapi sebuah komitmen pembangunan yang hidup, berpihak, dan berdampak.