Menyoal Konsep Pariwisata Berkualitas NTB: Jangan Biarkan Kabupaten Kota Jadi Penonton

Oleh: Abdul Majid 

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat tengah menggagas konsep “pariwisata berkualitas dan berkelanjutan” yang ditargetkan rampung pada Juni 2025. Langkah ini tentu patut diapresiasi, mengingat pentingnya repositioning NTB sebagai destinasi kelas dunia, bukan hanya kuantitas kunjungan, tetapi juga kualitas layanan dan dampak ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat.

Namun, di balik rencana yang tampak ambisius itu, ada kegelisahan yang layak disuarakan: provinsi seolah berjalan sendiri, dan kabupaten/kota yang berada di bawahnya belum sepenuhnya terakomodir secara struktural maupun substansial dalam perencanaan tersebut.

Sebagai pelaku legislatif di daerah, saya melihat ada jarak yang cukup lebar antara perencanaan di tingkat provinsi dengan kenyataan di lapangan di daerah-daerah. Ketika narasi besar dibangun di atas kertas di ibukota provinsi, daerah-daerah seperti Lombok Barat, Lombok Timur, Dompu, Bima, bahkan Sumbawa Barat masih berjibaku dengan infrastruktur dasar, penguatan SDM pariwisata, serta akses promosi yang terbatas. Jika tidak diantisipasi sejak awal, konsep “pariwisata berkualitas” ini justru berisiko hanya menjadi slogan elite yang tidak menyentuh akar rumput.

Kesenjangan koordinasi ini tidak hanya dalam bentuk teknis, tetapi juga politis dan kultural. Misalnya, mengapa tidak ada forum dialog atau musyawarah besar lintas daerah yang dilibatkan secara serius sejak tahap awal perencanaan konsep ini? Mengapa kabupaten/kota harus menunggu arahan top-down, padahal mereka adalah pihak yang paling tahu potensi, masalah, dan kebutuhan nyata di destinasi masing-masing?

Ambisi menjadikan NTB sebagai destinasi wisata kelas dunia tak akan pernah utuh tanpa pendekatan kolaboratif dan partisipatif. Provinsi harus menyadari bahwa perannya adalah sebagai orkestrator, bukan solois. Harmonisasi hanya akan terwujud jika semua instrumen – dalam hal ini kabupaten/kota – diberi ruang untuk berbicara, berkontribusi, dan merasa memiliki rencana besar ini.

Kita tidak ingin melihat satu-dua kawasan pariwisata seperti Mandalika atau Gili Trawangan terus bersinar, sementara kawasan-kawasan lain hanya menjadi pelengkap atau bahkan penonton. Ini saatnya mendesain peta jalan pariwisata NTB yang benar-benar inklusif, berbasis potensi lokal, dan menjunjung tinggi semangat pemerataan.

Pariwisata berkualitas bukan hanya tentang resort mewah, branding internasional, atau event besar-besaran. Ia adalah tentang bagaimana masyarakat lokal menjadi subjek utama dari perubahan – dari pelaku ekonomi, penjaga budaya, hingga penjaga alam. Dan untuk itu, suara kabupaten/kota tidak boleh lagi diabaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *