Mewujudkan Keadilan Ekonomi dari Dermaga Gili Mas: Saatnya Lombok Barat Bangkit dari Retribusi yang Kerdil

Oleh: Abdul Majid

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat

Di balik pemandangan megah kapal-kapal pesiar yang bersandar di Pelabuhan Gili Mas, tersimpan pertanyaan besar yang belum juga terjawab: mengapa daerah yang menjadi tuan rumah justru hanya mendapat remah-remah dari perputaran ekonomi yang fantastis?

Sebagai Wakil Ketua Komisi II DPRD Lombok Barat yang membidangi sektor ekonomi dan pariwisata, saya merasa penting untuk mengajak publik membuka mata terhadap ketimpangan ini. Bukan untuk menuding, tapi untuk memperbaiki. Bukan untuk meributkan, tapi untuk memperjuangkan keadilan ekonomi bagi masyarakat Lombok Barat.

Fakta yang Tak Bisa Dikesampingkan

Sepanjang tahun, tak kurang dari 29 kapal pesiar berlabuh di Gili Mas. Setiap kapal membawa antara 2.000 hingga 4.000 wisatawan asing yang siap membelanjakan uang mereka. Rata-rata belanja per wisatawan bisa mencapai Rp1–3 juta, bahkan lebih. Artinya, dalam satu tahun, potensi perputaran uang bisa mencapai Rp60 miliar hingga Rp180 miliar di Lombok Barat.

Namun kenyataannya, retribusi yang diterima daerah hanya sekitar Rp300 juta — atau 5% dari total pendapatan Pelindo dari aktivitas kapal pesiar. Sebuah ironi yang tak bisa terus dibiarkan.

Masalahnya Ada pada Skema dan Regulasi

PT Pelindo sebagai BUMN pengelola pelabuhan memang memiliki hak pengelolaan, namun kehadiran pelabuhan bukan semata urusan bisnis, melainkan juga urusan keadilan fiskal dan keberpihakan terhadap daerah. Skema retribusi saat ini tidak mencerminkan semangat itu.

Regulasi yang ada, baik di tingkat nasional maupun daerah, perlu dikaji ulang. Pemerintah daerah perlu ruang lebih untuk ikut mengatur dan menetapkan tarif serta bentuk kontribusi yang proporsional dari aktivitas ekonomi besar seperti kapal pesiar.

Masyarakat Belum Merasakan Manfaat Langsung

Yang juga menjadi perhatian adalah minimnya manfaat langsung bagi masyarakat lokal. Banyak wisatawan hanya turun sejenak, lalu kembali ke kapal tanpa menginap, tanpa berbelanja di warung rakyat, tanpa berinteraksi dengan budaya lokal. UMKM belum diberi ruang memadai di pelabuhan. Desa-desa wisata belum sepenuhnya terhubung dengan arus kedatangan kapal pesiar.

Padahal, dengan sedikit intervensi kebijakan, kita bisa mendorong agar setiap wisatawan minimal mengunjungi satu destinasi lokal, berbelanja produk UMKM, atau mengikuti tur budaya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Sebagai legislator, saya mendorong beberapa langkah konkret:

1. Negosiasi ulang dengan Pelindo untuk skema pembagian retribusi yang lebih adil.

2. Revisi regulasi daerah (Perda) terkait retribusi pelabuhan dan pariwisata agar daerah punya kendali lebih.

3. Paket wisata wajib yang melibatkan desa wisata, pelaku lokal, dan UMKM dalam setiap kunjungan kapal pesiar.

4. Pembentukan Tim Pengawasan Retribusi dan Investasi Pelabuhan, yang melibatkan DPRD, pemerintah daerah, dan unsur masyarakat.

5. Membuka akses langsung bagi UMKM untuk berjualan di area pelabuhan melalui sistem kurasi dan pelatihan terpadu.

Kesimpulan: Dari Pelabuhan untuk Kemajuan Bersama

Pelabuhan Gili Mas adalah aset besar. Namun, tanpa keadilan ekonomi, ia hanya akan jadi etalase indah yang tidak bisa mengangkat kesejahteraan rakyat. Saya percaya, dengan komitmen bersama, Lombok Barat bisa berdaulat atas potensi wilayahnya sendiri.

Saatnya kita bersuara lebih lantang. Bukan untuk menolak pembangunan, tapi untuk memperjuangkan keadilan. Supaya setiap kapal pesiar yang datang, benar-benar membawa harapan, bukan sekadar menyisakan jejak tanpa manfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *