Nasionalisme Yang Kehilangan Fokus

Dahulu semasa kanak-kanak di kecamatan-Lembar Sekotang tanggal 17 Agustus adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. 17 Agustus adalah hari ulang tahun kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diperingati setahun sekali oleh negara dan oleh semua kalangan. Kami biasanya di kampung merayakan hari kemerdekaan dengan mengadakan berbagai festival dan aneka lomba, mulai dari penjat pinang, lari karung hingga lomba sepak bola.
Sedangkan di kota sudah tampak latihan gerak jalan di sekolah-sekolah SD, SMP dan SMA. Tak pelik kami pun ikut terlibat sebagai delegasi sekolah kami. Gerak jalan mengundang antusias masyarakat di pinggir-pinggir jalan menonton atraksi dan kekompakan setiap regu yang dinilai oleh tim juri di pojok-pojok jalan raya.
Kemudian di hari 17 semua berdatangan untuk melaksanakan upacara bendera. Dari perayaan yang diselenggarakan ini menumbuhkan kembali rasa kecintaan kami sewaktu kanak-kanak. Tidak jarang bahkan di pelajaran sejarah dikisahkan bagaimana para pejuang mengorbankan jiwa dan raganya untuk merebut kemerdekaan. Resolusi jihad difatwakan dan kumandangkan di mana-mana sehingga yang ada di kepala para pejuang kala itu adalah merdeka, merdeka dan merdeka.
Refleksi apa yang terjadi hari ini, ketika semua orang merasa sudah dewasa, di ulang tahun yang ke 74 ini seperti terasa garing. Semua orang tampak lesu, perayaan-perayaan setengah hati dan tampak nasionalisme yang pura-pura tampak di wajah para pejabat pemerintah dan masyarakat. Di dusun-dusun kini kekompakan sudah tidak kami temukan lagi, partisipasi masyarakat terhadap desanya telah kehilangan ruhnya. Perayaan 17an akhirnya hanya bertengger di laman-laman sosial media.
Apakah nasionalisme kita telah kehilangan fokusnya? Jika dahulu bangsa ini fokus merebut kemerdekaan, sekarang setelah merdeka kita berebut sumberdaya politik. Bagi-bagi jatah, lobi-lobi proyek, jual beli jabatan, kolusi, korupsi dan nepotisme di segala lini.
Apa yang terjadi sesungguhnya? aku tak faham.