Oleh: Abdul Majid Penggiat Pariwisata & Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat
Beberapa bulan terakhir, suasana pariwisata di daerah—termasuk Lombok Barat—tampak muram. Hotel-hotel mulai merumahkan karyawan, kegiatan wisata turun drastis, dan pelaku UMKM yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini kian kehilangan harapan. Ini bukan keluhan biasa. Ini tanda bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perhotelan bukan sekadar angka statistik. Ia menjadi simbol nyata bahwa kebijakan pusat belum berpihak pada upaya pemulihan ekonomi masyarakat bawah. Salah satu penyebab utama ialah kebijakan pemangkasan kegiatan kementerian/lembaga (K/L) di daerah yang dulu menjadi salah satu sumber pergerakan ekonomi lokal—khususnya di sektor jasa, akomodasi, dan pariwisata.
Pemangkasan Anggaran, Lalu Efek Domino
Di atas kertas, efisiensi anggaran pusat terlihat logis. Tapi di lapangan, dampaknya menghantam jantung ekonomi daerah. Di Lombok Barat misalnya, banyak hotel yang bergantung pada kunjungan instansi pusat kini harus bertahan dengan nyaris tanpa tamu. Bukan hanya hotel yang terimbas, tetapi juga laundry, transportasi lokal, kuliner, hingga pekerja lepas seperti porter, sopir, dan pemandu wisata.
Jika situasi ini terus berlangsung tanpa koreksi arah, kita sedang menyaksikan kematian perlahan sektor pariwisata nasional—sektor yang selama ini menjadi tulang punggung penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja nonformal terbesar.
Pariwisata Diminta Tumbuh Tanpa Nutrisi
Ironisnya, pemerintah pusat terus mendorong pemda agar menggeliatkan ekonomi lokal, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan mengembangkan potensi wisata. Tapi bagaimana mungkin itu dilakukan bila “nutrisi kebijakan” yang mestinya menopang justru dicabut?
Kami para pelaku pariwisata sudah berupaya semaksimal mungkin—membuat event mandiri, menggandeng komunitas, hingga memanfaatkan digitalisasi. Tapi langkah-langkah itu hanya bisa bertahan jika ada dukungan nyata dari hulu, bukan sekadar dorongan moral tanpa instrumen kebijakan.
Posisi Kami: Melihat dan Menyuarakan
Sebagai anggota DPRD Lombok Barat sekaligus pelaku penggiat pariwisata, saya tahu betul bahwa kami di daerah tidak punya kewenangan untuk mengubah arah kebijakan nasional. Kami bisa menyuarakan, mengadvokasi, dan memberi masukan, tetapi keputusan tetap di pusat. Maka melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan aspirasi dari bawah—dari mereka yang setiap hari berjibaku agar sektor wisata tetap hidup.
Masukan untuk Pemerintah Pusat:
1. Evaluasi kebijakan pemangkasan kegiatan K/L di daerah wisata. Tidak semua daerah punya struktur ekonomi yang sama. Perlakukan daerah pariwisata secara khusus.
2. Aktifkan kembali kegiatan rapat, pelatihan, dan bimtek di daerah pariwisata. Ini bukan pemborosan, tapi suntikan ekonomi yang riil dan terukur.
3. Libatkan pelaku lokal dalam penyusunan kebijakan pariwisata, bukan hanya asosiasi besar yang sering berbicara dari Jakarta.
4. Dorong kolaborasi lintas level pemerintahan untuk menghidupkan kembali event berbasis lokal yang berdampak ekonomi langsung.
Jangan Hanya Lihat Angka, Lihat Manusia
Kalau arah kebijakan hanya berdasar efisiensi dan angka makro, maka kita sedang kehilangan esensi pembangunan itu sendiri: manusia. Sektor pariwisata adalah tentang interaksi, tentang wajah ramah rakyat Indonesia, tentang cerita dari desa dan pelosok yang tidak bisa dilihat dari layar excel.
Jika kebijakan pusat tidak segera disesuaikan, maka kita bukan hanya akan kehilangan potensi pendapatan, tetapi juga semangat masyarakat untuk tetap bertahan. Maka jangan biarkan sektor ini mati pelan-pelan hanya karena kita abai membaca gejalanya.