Pemotongan Anggaran Pariwisata: Antara Prioritas dan Kemunduran Sektor Ekonomi Kreatif

Abdul Majid, Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat

SEBAR.CO.ID – Pemerintahan melakukan langkah drastis dengan memangkas anggaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) hingga 80%. Dari anggaran awal Rp1,4 triliun, hanya tersisa 20-30% untuk operasional kementerian. Kebijakan ini diklaim sebagai bagian dari efisiensi anggaran guna mendukung program prioritas lain, termasuk program makan siang gratis. Namun, apakah pemangkasan ini bijak atau justru menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia?

Dampak Negatif bagi Pariwisata dan Ekonomi

1. Pariwisata sebagai Tulang Punggung Ekonomi

Pariwisata bukan hanya soal liburan, tetapi juga sektor strategis yang menyumbang devisa besar bagi Indonesia. Data dari Kemenparekraf menunjukkan bahwa sektor ini menyerap lebih dari 11 juta tenaga kerja dan berkontribusi hingga 4,1% terhadap PDB nasional. Pemotongan anggaran yang signifikan berisiko melumpuhkan industri pariwisata yang baru saja bangkit pasca-pandemi.

2. Melemahkan Daya Saing Global

Indonesia bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia dalam menarik wisatawan internasional. Thailand, misalnya, mengalokasikan miliaran baht untuk promosi wisata dan memberikan insentif bagi wisatawan asing. Sementara itu, Indonesia justru memangkas anggaran promosi, yang dapat menyebabkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan kehilangan potensi devisa.

3. Industri Kreatif Terancam Stagnasi

Banyak subsektor ekonomi kreatif bergantung pada dukungan pemerintah, seperti industri film, musik, dan event pariwisata. Tanpa subsidi dan fasilitas dari pemerintah, pertumbuhan industri kreatif bisa terhambat, yang pada akhirnya berimbas pada penciptaan lapangan kerja dan inovasi di sektor ini.

4. Dampak Langsung bagi Pelaku Usaha Pariwisata

Pemotongan anggaran ini berimbas langsung pada pelaku usaha kecil dan menengah di sektor pariwisata, mulai dari hotel, restoran, hingga pemandu wisata. Jika promosi wisata berkurang, maka jumlah wisatawan akan menurun, yang berujung pada penurunan pendapatan bagi mereka yang menggantungkan hidup pada industri ini.

Apakah Pemotongan Ini Sebanding dengan Manfaatnya?

Pemerintah berdalih bahwa efisiensi anggaran ini untuk mendanai program makan siang gratis yang diperkirakan memerlukan Rp460 triliun per tahun. Namun, perlu dipertanyakan apakah kebijakan ini dirancang dengan perhitungan yang matang. Mengorbankan sektor yang sudah terbukti menguntungkan dan berkontribusi besar bagi perekonomian demi program baru yang belum jelas mekanisme dan efektivitasnya adalah keputusan yang patut dikritisi.

Selain itu, pemerintah masih mengalokasikan dana besar untuk proyek-proyek infrastruktur yang belum tentu berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Jika pemerintah benar-benar ingin melakukan efisiensi, mengapa tidak memangkas proyek-proyek mercusuar yang kurang mendesak?

Solusi Alternatif: 

Revisi Strategi Anggaran

1. Realokasi Anggaran yang Lebih Seimbang

Pemotongan anggaran seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan sektor-sektor yang sudah terbukti memberikan dampak ekonomi signifikan. Alih-alih memangkas drastis anggaran pariwisata, pemerintah bisa melakukan efisiensi di sektor lain yang kurang produktif.

2. Kemitraan dengan Swasta

Pemerintah bisa menggandeng sektor swasta untuk menutupi kekurangan anggaran promosi wisata, misalnya melalui skema public-private partnership (PPP) yang sudah banyak diterapkan di negara lain.

3. Memanfaatkan Teknologi dan Digitalisasi

Jika anggaran promosi wisata terbatas, pemerintah bisa mengoptimalkan strategi pemasaran digital yang lebih hemat biaya dibandingkan promosi konvensional. Kampanye media sosial yang efektif bisa menjadi solusi alternatif untuk tetap menarik wisatawan tanpa perlu anggaran besar.

Kesimpulan: 

Efisiensi Tidak Harus Mengorbankan Pariwisata

Pariwisata adalah sektor yang berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Pemangkasan anggaran Kemenparekraf hingga 80% adalah langkah yang kurang bijak dan berpotensi merugikan banyak pihak. Jika pemerintah ingin melakukan efisiensi, seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih adil dan tidak mengorbankan sektor yang sudah terbukti menguntungkan.

Sebagai negara dengan kekayaan alam dan budaya luar biasa, Indonesia seharusnya memperkuat sektor pariwisatanya, bukan malah melemahkannya. Tanpa kebijakan yang mendukung, Indonesia bisa tertinggal dalam persaingan global dan kehilangan potensi besar yang dimiliki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *