Oleh: Abdul Majid
Wakil Ketua Komisi II DPRD Lombok Barat
Kebijakan Bupati Lombok Barat yang membuka ruang pemutihan izin vila sebagai bagian dari upaya menekan kebocoran PAD (Pendapatan Asli Daerah) menjadi sorotan penting bagi kita semua. Tentu langkah ini lahir dari kesadaran bahwa banyak vila yang beroperasi tanpa izin resmi dan tidak menyumbang pendapatan daerah, meskipun secara nyata mendapatkan manfaat ekonomi dari potensi wisata Lombok Barat.
Namun, di tengah semangat memperluas legalitas dan pendapatan, kita tidak boleh menutup mata terhadap berbagai risiko yang mengiringinya. Beberapa hal patut kita cermati secara bersama.
Pertama, kebijakan ini jangan sampai memberi kesan bahwa pelanggaran yang sudah lama berlangsung bisa begitu saja “dimaafkan” tanpa tanggung jawab. Vila-vila yang selama ini tidak mengantongi izin dan tidak membayar pajak seharusnya tetap dikenakan bentuk pertanggungjawaban, meski dalam skema pemutihan.
Kedua, keterbukaan data sangat krusial. Pemerintah Kabupaten perlu menyampaikan kepada publik berapa jumlah vila yang belum berizin, siapa saja pelakunya, dan bagaimana proses pemutihan akan dilakukan. Tanpa transparansi, ruang untuk permainan dalam proses legalisasi sangat mungkin terbuka.
Ketiga, keadilan terhadap pelaku usaha yang sejak awal patuh terhadap regulasi juga harus diperhatikan. Jangan sampai mereka merasa tidak dihargai, karena justru yang sebelumnya melanggar diberi ruang kemudahan tanpa kompensasi terhadap mereka yang taat.
Keempat, faktor lingkungan juga tak boleh dilupakan. Beberapa vila berada di kawasan rawan dan sensitif, seperti sempadan pantai atau bukit konservasi. Jika semua vila disahkan tanpa kajian menyeluruh terhadap daya dukung dan dampak ekologisnya, maka kita hanya sedang menunda masalah yang lebih besar di masa depan.
Menjawab berbagai tantangan tersebut, tentu ada langkah-langkah konkret yang bisa ditempuh untuk memperkuat dampak positif dari kebijakan ini.
Salah satunya adalah perlunya audit menyeluruh terhadap bangunan vila yang belum berizin, dilakukan secara profesional oleh tim independen atau gabungan OPD. Hasilnya harus dibuka ke publik sebagai bentuk akuntabilitas.
Setiap permohonan pemutihan harus melewati proses validasi teknis, tidak hanya administratif. Unsur lingkungan, dampak sosial, hingga keberlanjutan usaha harus menjadi pertimbangan utama.
Di sisi lain, pelaku usaha yang sejak awal sudah berizin perlu diberikan insentif tertentu—bisa berupa promosi melalui event daerah atau relaksasi pajak—agar rasa keadilan tetap terjaga.
Dan tak kalah penting, digitalisasi sistem perpajakan harus segera diimplementasikan. Integrasi perangkat lunak dengan sistem kasir penginapan akan memberi kontrol yang lebih kuat dan mencegah manipulasi laporan pajak.
Sebagai wakil rakyat di Komisi II DPRD Lombok Barat yang membidangi sektor ini, saya menilai bahwa kebijakan pemutihan ini adalah langkah maju, tapi hanya akan berhasil jika dikawal dengan ketat. Kami di DPRD siap untuk mengawasi proses ini agar tidak hanya menjadi instrumen legalisasi semata, melainkan benar-benar berdampak bagi peningkatan PAD dan penataan sektor pariwisata secara berkelanjutan.
Mari kita jaga niat baik ini agar benar-benar menjadi solusi dan bukan justru menciptakan masalah baru dalam bentuk lain.