Perkuat Pengawasan Produk Pangan: Melindungi Konsumen, Menjaga Kepercayaan Publik

Oleh: Abdul Majid

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat.

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat dikejutkan oleh kabar ditemukannya sejumlah produk pangan olahan yang mengandung unsur babi (porcine), meskipun beberapa di antaranya telah mengantongi sertifikat halal. Temuan ini diumumkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tanggal 21 April 2025. Fakta ini memicu keprihatinan luas, karena menyentuh aspek kepercayaan konsumen serta kepatuhan terhadap regulasi yang menjamin keamanan dan kejelasan informasi suatu produk.

Namun, isu ini sesungguhnya bukan hanya menyangkut kehalalan atau kepentingan kelompok tertentu. Ini adalah soal kepastian hukum dan hak seluruh konsumen terhadap produk yang aman, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tanggung Jawab Daerah dalam Rantai Pengawasan

Kabupaten Lombok Barat memiliki berbagai jalur distribusi produk pangan, baik dari dalam maupun luar daerah. Kondisi ini menuntut kesiapsiagaan daerah dalam memastikan bahwa produk yang beredar tidak hanya aman dikonsumsi, tetapi juga mematuhi ketentuan hukum terkait label, izin edar, dan kandungan bahan.

Pengawasan terhadap peredaran produk pangan bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga memerlukan peran aktif pemerintah daerah melalui beberapa instansi yang berkaitan langsung, seperti:

Dinas Kesehatan, yang berwenang memantau aspek keamanan dan dampak produk terhadap kesehatan masyarakat.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yang bertugas melakukan pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang menjadi lembaga teknis utama dalam pengujian, verifikasi kandungan, serta pengawasan distribusi produk pangan.

Ketiga lembaga ini perlu memperkuat sinergi untuk mencegah beredarnya produk yang tidak sesuai standar dan melindungi konsumen dari potensi bahaya maupun informasi yang tidak benar.

Payung Hukum dan Regulasi yang Berlaku

Untuk menjamin kejelasan dan keamanan produk yang dikonsumsi masyarakat, sejumlah regulasi telah mengatur hal ini secara spesifik, di antaranya:

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mengatur bahwa setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali dinyatakan sebaliknya.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 sebagai turunan dari UU tersebut, yang memberikan penegasan teknis pelaksanaan sertifikasi halal dan sanksi atas pelanggaran.

Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018, yang mewajibkan pencantuman informasi produk secara lengkap dan tidak menyesatkan pada label pangan olahan.

Regulasi ini tidak hanya berlaku untuk kepentingan agama tertentu, tetapi juga menjadi pilar hukum perlindungan konsumen secara menyeluruh.

Mendorong Respons dan Kesiapsiagaan Daerah

Merespons situasi ini, sangat penting bagi daerah seperti Lombok Barat untuk segera mengambil langkah-langkah proaktif:

  1. Melakukan pengawasan lapangan terhadap produk-produk pangan olahan, terutama yang berasal dari luar daerah.
  2. Mendorong adanya inspeksi rutin ke pusat distribusi dan ritel modern di wilayah kabupaten.
  3. Memperkuat edukasi masyarakat, agar konsumen mampu membedakan produk yang legal, bersertifikat, dan aman dikonsumsi.
  4. Membuka saluran pengaduan publik, sehingga masyarakat dapat melaporkan temuan produk yang mencurigakan secara cepat dan akurat.

Dengan sinergi antarinstansi dan partisipasi masyarakat, pengawasan akan menjadi lebih efektif, dan potensi penyebaran produk bermasalah bisa diminimalkan.

Kesimpulan: Keamanan Konsumen, Tanggung Jawab Bersama

Isu ini bukan semata soal kehalalan, tetapi lebih luas lagi menyangkut perlindungan hak konsumen, keselamatan masyarakat, dan kredibilitas sistem pengawasan. Oleh karena itu, perhatian semua pihak—baik lembaga pemerintah, pelaku usaha, maupun konsumen sendiri—sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan publik yang lebih kuat.

Pengawasan produk pangan tidak boleh berhenti pada reaksi sesaat. Diperlukan sistem yang berkelanjutan, koordinatif, dan transparan. Karena dalam urusan perlindungan konsumen, kita tidak bicara tentang kelompok tertentu, tapi tentang kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *