Pernikahan Anak, Dilema Sosial dan Tanggung Jawab Bersama

Oleh: Abdul Majid 

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat

Isu pernikahan anak kembali mengemuka ke permukaan, kali ini dengan sorotan tajam setelah viralnya peristiwa di Lombok Tengah. Ketua FKUB NTB, Dr. Buya Subki Sasaki, telah menyatakan penolakannya secara tegas terhadap praktik pernikahan dini. Hal ini tentu menjadi sinyal kuat bahwa persoalan ini bukan hanya tentang adat dan budaya, tetapi menyangkut masa depan generasi NTB secara luas.

Sebagai wakil rakyat dan bagian dari masyarakat Lombok, saya memandang bahwa isu pernikahan usia anak harus kita sikapi secara arif, adil, dan menyeluruh. Di satu sisi, kita tidak bisa menutup mata bahwa pernikahan anak kerap terjadi karena faktor sosial, ekonomi, budaya, bahkan situasi darurat. Di sisi lain, kita harus jujur mengakui bahwa dampak buruk dari pernikahan dini jauh lebih besar ketimbang manfaat yang diharapkan.

Mendukung Upaya Pemerintah dan Tokoh Agama

Saya menyampaikan dukungan penuh kepada pemerintah provinsi NTB, tokoh agama, dan seluruh elemen masyarakat yang terus mengkampanyekan pencegahan pernikahan usia anak. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dengan batas usia 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan adalah pijakan hukum yang jelas, dan harus kita patuhi bersama.

Apa yang disampaikan oleh Ketua FKUB NTB, bahwa semua agama sejatinya mendorong kesiapan mental, spiritual, dan sosial dalam membangun rumah tangga, adalah perspektif yang sangat tepat. Islam misalnya, tidak hanya mewajibkan syarat sah nikah, tapi juga menekankan maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam) yang salah satunya adalah hifdz al-nasl (menjaga keturunan) agar lahir generasi yang kuat, sehat, dan beradab.

Menakar Realitas Sosial: Merariq, Aib, dan Ekonomi

Namun di lapangan, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan masyarakat. Tradisi Merariq yang kuat, kekhawatiran terhadap aib, hingga tekanan ekonomi sering kali menjadi alasan utama kenapa orang tua ‘merestui’ atau bahkan mendorong pernikahan dini.

Justru di sinilah kita perlu menghadirkan pendekatan yang lebih strategis dan manusiawi. Pendidikan reproduksi, penguatan ekonomi keluarga, perlindungan anak, dan pembinaan adat yang kontekstual dengan zaman adalah langkah-langkah penting yang harus kita dorong bersama. Negara hadir bukan untuk menghukum, tapi untuk mendidik dan melindungi.

Perlu Perda Khusus dan Forum Multi-Pihak

Saya mengusulkan agar Pemprov NTB bersama DPRD dapat mendorong lahirnya Perda Pencegahan Pernikahan Anak Usia Dini yang benar benar dikawal, bukan hanya sebagai payung hukum, tapi juga sebagai panduan teknis dalam menghadapi kasus-kasus di lapangan. Forum multi-pihak yang melibatkan tokoh agama, budayawan, psikolog, akademisi, dan LSM juga perlu dibentuk untuk memberi edukasi dan solusi komprehensif.

Pendekatan satu arah tidak akan efektif. Kita butuh kolaborasi yang menghormati budaya, namun juga berpijak pada realitas dan cita-cita besar: mewujudkan generasi NTB yang sehat lahir-batin, cerdas, dan mandiri.

Penutup: Jangan Salahkan Anak, Perkuat Sistem

Saya ingin menegaskan bahwa dalam kasus-kasus pernikahan anak, yang seharusnya kita evaluasi adalah sistem—bukan anak. Menikahkan anak yang belum siap adalah bentuk kekerasan struktural yang tidak kasat mata. Maka dari itu, saya mengajak semua pihak untuk tidak menyalahkan satu-dua orang, tetapi duduk bersama, mencari solusi terbaik yang berbasis data, nilai, dan kepentingan jangka panjang.

Sebagai wakil rakyat, saya akan terus mendorong adanya kebijakan yang berpihak pada anak-anak kita. Mari kita jadikan NTB sebagai provinsi yang menjunjung tinggi nilai agama, budaya luhur, dan masa depan yang cerah bagi seluruh generasinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *