Sinergi Pemerintah dan Pelaku Usaha untuk Tata Kelola Pariwisata yang Lebih Baik

Oleh: Abdul Majid Anggota DPRD Kab Lombok Barat

Pernyataan Wakil Bupati Lombok Barat, Ibu Hj. Nurul Adha, mengenai masih banyaknya vila bodong dan penginapan tidak terdata di wilayah Lombok Barat patut kita respons secara serius. Persoalan ini bukan hal baru. Saya sendiri, sejak lama, telah berulang kali menyampaikan temuan ini dalam berbagai forum resmi, termasuk rapat dengar pendapat bersama dinas-dinas teknis terkait. Namun, problem ini tetap berulang dan belum terkelola secara sistemik.

Realitas yang Kita Hadapi

Lombok Barat adalah daerah dengan potensi wisata luar biasa. Dari Senggigi hingga Sekotong, dari Gili Nanggu hingga Lembar, kita punya kawasan yang menjadi tujuan wisata domestik dan mancanegara. Namun, ironi muncul ketika banyak penginapan, vila, dan homestay beroperasi tanpa izin resmi, tidak membayar pajak, dan tidak terdata dalam sistem administrasi pariwisata kita. Hal ini tentu merugikan daerah, tidak hanya dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga dari sisi tata kelola, pengawasan lingkungan, dan keamanan wisatawan.

Kajian Strategis dan Dampak Jangka Panjang

Jika kondisi ini dibiarkan, ada beberapa potensi kerugian besar yang akan terus membayangi:

1. Kehilangan Potensi PAD: Bangunan yang tidak terdata tentu tidak dikenai pajak atau retribusi resmi. Ini berarti potensi ratusan juta hingga miliaran rupiah hilang setiap tahun.

2. Ketimpangan Usaha: Pengusaha yang tertib membayar pajak menjadi tidak kompetitif dibanding pengusaha ‘bodong’. Ini menciptakan iklim usaha yang tidak sehat.

3. Kerentanan Hukum dan Keamanan: Tanpa izin resmi, pemerintah tidak memiliki data dan kontrol terhadap aktivitas usaha tersebut, yang dapat membahayakan tamu dan masyarakat sekitar.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah Daerah?

1. Audit dan Pendataan Serentak: Pemkab perlu membentuk tim lintas sektor (Dispar, Satpol PP, DPMPTSP, Bapenda, dan camat-kepala desa) untuk melakukan pendataan dan pemutakhiran informasi usaha penginapan secara menyeluruh.

2. Digitalisasi Perizinan dan Integrasi Data: Membuat sistem perizinan digital terintegrasi berbasis GIS yang dapat diakses publik untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

3. Pemberdayaan Aparatur Desa dan Kecamatan: Karena banyak usaha bodong beroperasi di desa, peran kepala desa dan perangkat desa harus ditingkatkan dengan pelatihan dan insentif untuk menjadi ujung tombak pendataan.

4. Sosialisasi dan Edukasi Pengusaha: Pemerintah harus hadir tidak sebagai penindas, tetapi sebagai mitra. Sosialisasi pentingnya izin usaha, manfaat legalitas, dan mekanisme perizinan harus dilakukan secara persuasif.

5. Amnesti Pajak dan Legalitas Terbatas Waktu: Pemkab bisa memberikan program legalisasi bersyarat untuk menarik para pemilik vila bodong agar mendaftarkan usahanya secara resmi dalam jangka waktu tertentu.

6. Revitalisasi Perda dan SOP Pengawasan: Jika perlu, revisi regulasi atau Perda terkait untuk memperkuat kewenangan daerah dalam penertiban dan pengawasan.

Penutup

Ini bukan persoalan sekadar penegakan hukum, tetapi menyangkut arah pembangunan ekonomi daerah. Penataan vila dan penginapan tak berizin akan berdampak pada naiknya PAD, terciptanya iklim usaha sehat, dan perlindungan wisatawan secara menyeluruh. Kritik ini kami sampaikan dalam semangat membangun. Lombok Barat tidak boleh hanya jadi tempat menikmati keindahan, tetapi juga harus menjadi contoh dalam tata kelola pariwisata yang cerdas dan berdaya saing.

Mari kita benahi bersama. Untuk Lombok Barat yang maju, adil, dan bermartabat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *